![]() |
Hari ini,
harus pagi benar tiba di sekolah. Tongkat kontrol aktifitas sekolah dipundaki.
Setiap hari selasa, terjadwal sebagai guru piket.
Energi harus
extra lebih. Sebelum aktifitas sehari dijalani, bangun harus lebih pagi. Agar ada
waktu berdoa, dengar lagu happy, lompat2, pemanasan diri sedari tubuh kaku
terdiam tidur malam sampai pagi ini. Begitulah setiap pagi. Selanjutnya, mandi,
lambung pun tak lupa ku penuhi. Nasi dan ikan sisa semalam rata ku sikat. Setelah itu, Ku lihat jam, dan bergegaslah
jalan. “Aku sangat siap ke sekolah”
Tiba di
sekolah. Peserta didik tampak rajin bersih ruang kelas serta halaman sekolah.
Meski ada juga sebagian siswa, datang pagi tidak berbuat apa-apa. Merenung,
bercanda, bahkan nganggur di balik kesibukan temannya.
Tersenyum
saja melihatnya. Mereka peserta didik yang memang harus diarahkan. Bahkan, kita
sebagai guru pun sering demikian. Tanpa diarahkan, guru saja lupa diri,
nganggur dari tanggung jawab. Itulah mengapa, butuh fungsi kontrol. Kita
manusia butuh alaram pengingat, “mesin” pengarah. “Mesin” pengarah itu bisa
lahir dari diri sendiri, ada pula dari orang lain. Nah, disinilah tugasku.
Menjadi “mesin” pengarah untuk semua. Baik guru maupun peserta didik di
sekolah.
Sebagai Guru
piket, ku sadar, aku lah yang harus mengarahkan semua. Guna kembali
mengingatkan kepada semua, tentang apa yang harus dipatuhi dan ditindaki
bersama.
Pertama,
harus apel pagi sebelum aktifitas transfer pengetahuan. Syukur cuaca tidak hujan.
Tepat jam 7 pagi, ku pukul kencang bell sekolah yang kian berkarat itu. Seluruh
peserta didik tersadar, apel pagi dimulai. Hampir 185 peserta didik
tersingit-singit bak kantung di bawah reba. Berlarian menuju barisan
masing-masing.
Ku lebih
dulu berdiri rapi tepat menghadap barisan seluruh peserta didik dari kelas
7 sampai kelas 9 itu. Ku tatap dingin.
“Merekalah Wajah-wajah masa depan bangsa”
Ku coba
membatuk, seraya menyetel suara, dan berkata “Piket… Mulai”
“Tapi pak…?
teman2 Masih ribut”
“Mulai saja,
bapak mau lihat, siapa biang keributan ini”
“Baik Pak”
Patuh siswa
Hampir
setiap hari, piket berlangsung tegang dan penuh bentak dari guru. Pendisiplinan
peserta didik setiap apel pagi banyak memakan waktu. Bahkan arahan inti yang
harusnya terkandung konten motivasi, tipis tersampaikan oleh guru piket. Itu
yang sering terlaksana. Tak heran, iklim pendidikan harusnya bergairah merdu,
malah tegang mendominasi mental siswa.
“Mereka hanya butuh ketegasan dan komitmen, bukan kasar” demikian hati ku
membatin.
Tugas
piketku hari ini, sangatlah enjoy namun tegas. Memang, saat ada arahan pertama,
beberapa peserta didik mulai sumbang suara. Situasi mulai ribut. Namun, tak ku
marah, atau pun ku bentak secara kolektif. “Harus sabar.. harus selesai arahan
baru mencari sumber keributan” hati berbisik tenangkan diri.
Dan, situasi
memuncak. Para penyumbang suara itu mulai menguasai panggung. Suaraku kian
tertelan oleh suara peserta didik. Yang harusnya diam dan mendengar, malah,
semakin berani bertingkah. Mulai ada yang ganggu kawan disampingnya. Seolah
mengajak kalau tidak lah masalah jika berdiskusi kalau ada arahan dari guru
piket.
“Sudah
waktunya” Ku pun menghentikan arahan. Tanpa suara, dan menyisir barisan dengan
tatapan licin.
Benar sekali
perkiraanku. Sumber keributan itu sama sekali tidak menyadari tatapanku. Mereka
benar memiliki dunia sendiri. Tak ku marah, tapi mengarahkan.
Ku ajak
peserta didik yang patuh tuk berdemokrasi. Menunjuk orang2 yang mengganggu
barisan.
Alhasil,
dapat 10 orang yang ditunjuk teman mereka sendiri karena menggangu kedisiplinan
apel pagi.
Seketika itu
juga, ku pisahkan 10 orang itu, membentuk barisan sendiri di sebelah barat dari
berisan teman2nya yang lain.
Setelah
semua kembali tenang, arahan
dilanjutkan, dan sampai selesai apel, tak ada lagi suara sumbang.
Keributan itu
ternyata dipicu oleh 10 orang saja. Dan menjangkit 185 peserta didik lainnya.
Selesai apel
pagi, peserta didik kembali ke kelas masing-masing. Ku pun berbalik arah,
berencana memukul kembali bel sekolah, sebagai tanda masuk Jam pertama. Dalam
perjalanan, tiba2 ada salah satu siswa teriak serius “Pak Ada yang terlambat.
Nda Iko Apel”
“Arnol Lagi”
Sembari Tarik nafas dan berprediksi dalam hati
Ku pun
balikan badan mengarah ke sumber suara siswa “Siapa yang terlamabar ?”
“Arnol PaK”
“Huf…
Benarkan, Panggil dia kemari”
Arnol. Siswa
ini bertubuh ramping. Kurusan. Jika dibandingkan dengan tubuhku waktu SMP dulu,
Arnol sedikit masih lebih berisi. Arg….
Arnol terlambat
lagi. Ia juara terlambat dan jago bolos. Sudah segala pendekatan dilakukan oleh
seluruh guru demi membantu Arnol patuh aturan sekolah. Arnol sepertinya sudah
kebal sangsi. Anehnya, ia terlihat menikmati sangsi tersebut. Kali ini Arnol ku
beri dua pilihan sangsi.
“Arnol,
pilih sangsimu. Mau bersih WC atau angkat sampah ?”
Cepat Arnol
menjawab “Angka sampah Jo Pak”
“Baik, itu
pilihanmu. Silakan menebus kesalahanu, selamat bekerja”
“Sampah
dimana pak” Tanya Arnol
“Sampah dari
kelas 7-9”
Mendengarnya,
Arnol pun langsung mengerutkan dahi, dan langsung menuju lokasi kerjanya. Arnol
memulainya dari kelas 9 Satu.
Dari sana,
ku melihat ada pemendangan hebat setelah proses sangsi ini berlangsung. Sambil
mengawasi Arnol, tiba2 ada satu siswa datang dengan mata permohonan.
“Pak, boleh
kita bantu Arnol?”
“Bantu apa
?”
“Mo baku
bantu Angka sampah”
Sungguh
hatiku terpukul. Lingkaran pertemanan Arnol ternyata bisa seperti ini. Ia punya
teman sepenanggungan. Arnol dibantu temannya yang sama sekali tidak ada
masalah.
Mendengar
perminataan teman Arnol, ku pun tak menghalang niat baiknya.
“Baik. Jika
itu maumu”
Pekerjaan
tuntas. Arnol terbantu.
Arnol masuk
kelas.
Ku masih
penasaran dengan sangsi yang diberikan. Apakah, hal ini bisa ada efek jerah ?
Pekerjaan Arnol dibantu temannya. Tentu ini meringankan sangsinya.
“Jika Arnol
menerima keringanan sangsi dari temannya, mengapa tidak, jika temannyalah yang
membantu Arnol tuk sama2 menjadi siswa yang patuh aturan sekolah?”
Dari situ,
pikiranku tertuju pada sosok sahabat Arnol. Sahabat yang suka rela, lelah
bersama. Ku panggil sahabat Arnol. Masuk ruang BK. Dari situ, ku ajak teman Arnol bekerja sama
demi kebaikan Arnol sendiri.
Semoga kali
ini bisa berhasil. Membantu Arnol sadar bukan karena sangsi. Tapi, karena
pendekatan hati ke hati.